ULASAN TEKS EDITORIAL
Teks editorial merupakan artikel pokok dalam surat kabar yang merupakan pandangan redaksi dari media yang bersangkutan terhadap suatu peristiwa yang menjadi sorotannya.
Karakteristik umum dari editorial adalah sebagai berikut.
1. 1. Berisi fakta-fakta tentang peristiwa ataupun permasalahan aktual.
2. Berisi pendapat redaksi tentang peristiwa yang menjadi sorotannya itu, baik berupa kritik, penilaian, harapan, maupun saran.
3. 2. Terkandung solusi redaksi media yang bersangkutan terhadap suatu permasalahan, mungkin juga berupa simpulan dan sejumlah saran.
Dengan demikian, berdasarkan isi ataupun tujuannya, editorial termasuk jenis teks argumentatif. Di dalamnya terkandung sejumlah argumentasi penulisnya berkenaan dengan persoalan yang dipilihnya.
Hal-hal yang perlu diperhatikan Ketika menentukan topik editorial adalah sebagai berikut.
1. Menarik para peserta
Suatu masalah akan menarik peserta apabila :
· bermanfaat, baik bagi para peserta itu sendiri maupun masyarakat,
· mengandung banyak perdebatan, dan
· aktual, sedang hangat dibicarakan masyarakat.
2. Sesuai dengan kapasitas pengetahuan peserta
3. Memiliki kejelasan
Kejelasan suatu masalah dapat dilihat dari gagasan sentralnya ataupun ruang lingkupnya. Topik yang terlalu kompleks dan luas dapat meyebabkan arena diskusi menjadi tidak berujung pangkal, mengambang, dan bertele-tele.
4. Sesuai dengan waktu dan distuasi
Struktur teks editorial dibentuk oleh bagian-bagian berikut.
1. Pengenalan isu sebagai pendahuluan teks, yakni berupa sorotan peristiwa yang mengandung suatu persoalan aktual.
2. Penyampaian argumen-argumen sebagai pembahasan, yakni berupa tanggapan redaktur dari media yang bersangkutan berkenaan dengan peristiwa, kejadian, atau persoalan aktual.
3. Simpulan, saran, ataupun rekomendasi sebagai penutup, berupa pernyataan dalam menyelesaikan persoalan yang dikemukakan sebelumnya.
Berikut kaidah kebahasaan teks editorial.
1.
1. Banyak menggunakan kata-kata popular, seperti carut-marut, geger, keasyikan, bergosip, di-drop, dropping, cibiran, duit, dll.
2. Banyak menggunakan kata yang merujuk pada waktu, tempat, peristiwa, dan hal lainnya yang menjadi fokus ulasan.
3. Banyak menggunakan ungkapan-ungkapan persuasif. Hal ini terkait denga isi editorial itu sendiri yang pada umumnya bertujuan untuk memengaruhi khalayak dengan sejumlah argumentasi.
4. Banyak menggunakan pernyataan-pernyataan mempertentangkan, yakni ditandai dengan penggunaan konjungsi tetapi, melainkan, meskipun. Hal itu terkait dengan topik-topik editorial itu sendiri yang pada umumnya bersifat pro dan kontra.
5. Menggunakan kata ganti kita untuk melibatkan pembaca langsung pada topik yang dibahasnya.
Tahapan penyusunan teks editorial adalah :
1. Perancangan
a. Menentukan peristiwa pro dan kontra lalu mengumpulkan fakta, teori, maupun sumber pendukung lainnya yang bisa memperkuat ulasan.
b. Fakta tersebut diusun dan disistematiskan sesuai dengan kerangka umum teks editorial, yakni pengenalan isu, penyampaian argument, dan simpulan.
c. Mengembangkan kerangka menjadi sebuah teks yang lengkap dan utuh.
Dalam tahap ini, sangat perlu untuk memperhatikan pola pengembangannya, apakah dengan kausalitas, temporal atau kronologis, perbandingan/pertentagan dengan pola-pola lainnya. Pola tersebut akan berkaitan dengan fakta yang akan disajikan beserta dengan konjungsi yang akan dituliskan dalam teks tersebut.
2. Penyuntingan
Mencermati kembali isi, struktur, serta kaidah-kaidah kebahasaannya.
Kamis 30 Juli 2020, 05:00 WIB
Pengakuan Semu atas Aliran Kepercayaan
Administrator | Editorial
SUNGGUH malang para penghayat aliran kepercayaan di negeri ini. Mereka tiada henti mendapat tekanan hingga membuat ruang gerak dalam menganut kepercayaan semakin terbatas. Diskriminasi yang mereka hadapi sudah seperti santapan sehari-hari.
Masyarakat Adat Karuhun Urang Sunda Wi witan di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, bahkan mengaku merasakan peminggiran secara sistematis terhadap aliran kepercayaan mereka. Pemerintahan setempat membuat peminggir an itu makin melembaga. Melalui penyertifi katan tanah, lahan-lahan adat masyarakat Sunda Wiwitan ber angsur ber alih menjadi lahan atas nama pribadi.
Tentangan sekelompok masyarakat terhadap pengamalan kepercayaan Sunda Wiwitan pun dilegitimasi melalui implementasi aturan daerah yang diskriminatif. Bupati Kuningan, yang semestinya berperan sebagai wakil negara, berkolaborasi dengan ormas menyegel area pembangunan makam masyarakat adat Sunda Wiwitan.
Padahal, sejak Republik ini berdiri, negara memberikan perlindungan dari perilaku-perilaku diskriminatif semacam itu, tanpa kecuali. Pasal 29 ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Pangkal persoalan yang menimpa masyarakat Sunda Wiwitan di Ku ningan sebetulnya ialah tudingan sesat yang dilontarkan sekelompok masyarakat. Bupati lantas mengakomodasi tuding an tersebut dalam memproses izin mendirikan bangunan (IMB) permakam an leluhur masyarakat adat.
Pola-pola diskriminasi yang mengekang kebebasan beragama dan menganut kepercaya an seperti itu sudah ke rap terjadi. Imparsial menyebut da lam 31 kasus pelanggaran kebebasan beragama sepanjang setahun hing ga November 2019, aparat penegak hukum dan pemerintah masih berkontribusi sebagai pelaku pelanggaran.
Lebih jauh ke belakang, pe minggiran terhadap aliran kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa malah sempat begitu lama dilegitimasi pemerintah dalam hal pencantuman data kependudukan. Sampai kemudian pada 2017, terbit putusan Mahkamah Konstitusi yang memberi kepada pengakuan aliran penghayat kepercayaan. Dengan pengakuan itu, mereka bisa mencantumkan kepercayaan yang dianut pada kolom agama di kartu tanda penduduk (KTP).
Namun, pengakuan di KTP rupanya tidak menyetop perilaku diskriminatif yang dihadapi penghayat aliran kepercayaan. Tudingan sesat selalu dan masih menjadi momok.
Ketika sekelompok masyarakat yang merasa berada di atas hukum melontar kan tudingan tersebut disertai pengerahan massa, nyali pemerintah menciut. Negara kalah oleh tekanan massa intoleran.
Ketidakberdayaan pemerintah menegakkan amanat konstitusi menunjukkan pengakuan yang semu terhadap alir an kepercayaan. Para penganutnya yang dari sisi jumlah tergolong minoritas akan selalu kalah oleh tekanan kelompok masyarakat yang mengandalkan kekuatan massa.
Jika ini terus dibiarkan, bukan tidak mungkin pemaksaan kehendak akan semakin populer dijadikan senjata untuk menginjak-injak kelompok masyarakat minoritas. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah untuk tidak menganggap sepele setiap kasus pelanggaran kebebasan beragama.
Sumber: https://mediaindonesia.com/editorials/detail_editorials/2075-pengakuan-semu-atas-aliran-kepercayaan
Comments
Post a Comment